Oleh Dr Adian Husaini
Pada 7 November 2013, Unversitas Komputer
Indonesia (Unikom) Bandung, menggelar acara menarik: “Seminar Nasional tentang
Sains Islam”. Ini acara menarik. Sekitar 150 orang guru menghadiri acara itu. Sebagai
pembicara pertama, saya membahas tentang definisi “Sains Islam” dan perlukah
ada “Sains Islam”?
Tidak sedikit orang yang masih
berpendapat, bahwa Sains itu netral sifatnya. Tidak bersifat Islam, Kristen,
Yahudi, atau Hindu. Buktnya, kata mereka, jika kyai atau pastor dilempar dari
pesawat terbang, pasti akan mati. Saklar listrik dipencet oleh siapa pun --
mukmin atau kafir -- akan berdampak sama pada bola lampu salurannya. Benarkah
begitu?
Tetapi, saat ini, kita sudah mengenal
berbagai istilah yang menempelkan kata “Islam” di belakangnya, semisal: ekonomi
Islam, asuransi Islam, bank Islam, sekolah Islam, rumah sakit Islam,
universitas Islam, partai Islam, dan sebagainya. Nah, apakah salah, jika kata
“Islam” juga ditempelkan pada kata “Sains”, sehingga menjadi istilah baru
“Sains Islam”. Sebagaimana kata-kata lainnya, “Sains Islam” memiliki makna yang
berbeda dengan sains sekuler yang sudah populer dengan sebutan “western
science”atau “Sains Barat”.
Sudah banyak ilmuwan yang memberikan
kritik terhadap sains Barat sebagai pembawa bencana bagi umat manusia. Salah
satu yang cukup vokal dalam menyurakan hal ini adalah Seyyed Hossein Nasr. Ia
mencatat: “To day more and more people are becoming aware that the applications
of modern science, a science witch until a few decades ago was completely
Western and which has now spread to other continents, have caused directly or
indirectly unprecedented environmental disasters, bringing about the real
possibility of the total collapse of the natural order.” (Lihat, Seyyed Hossein
Nasr, The Need for a Sacred Science, (New York: State University of New York
Press, 1993)
Jadi, kata Hossein Nasr, kini makin
banyak orang yang sadar akan aplikasi sains modern yang total bersifat Barat
(western) yang secara langsung atau tidak telah menyebabkan kehancuran
lingkungan, bahkan berimplikasi pada kehancuran tatanan alam secara total.
Jadi, memang ada “Sains modern”, “Sains Barat”, yakni sains yang dipandang
bertanggung jawab terhadap kerusakan di alam ini. Sains Islam tentu berbeda
dengan sains seperti itu. Apa itu?
****
Sains sejatinya bukan sekedar fakta
ilmiah. Tapi, sains juga melibatkan manusia yang memiliki cara pandang tertentu
terhadap fakta. Muslim memandang bahwa alam semesta, termasuk dirinya sendiri,
adalah “ayat-ayat Allah”. Ia sadar dirinya adalah hamba Allah dan
khalifatullah. Banyak ayat al-Quran memerintahkan agar manusia menggunakan
akal, mata, dan telinganya untuk memahami ayat-ayat Allah, sehingga ia mencapai
ma’rifatullah; ia dapat mengenal Allah melalui ciptaan-Nya.
Manusia yang gagal mengenal Tuhannya,
meskipun rajin mengamati fenomena alam,
maka akan jatuh martabatnya ke derakat binatang ternak; bahkan lebih
hina lagi. (QS 7:179). Jika ia seorang ilmuwan, maka kelasnya setingkat dengan
kelas binatang ternak; atau ilmuwan kelas kambing, dan jenis-jenis ternak
lainnya. Ilmuwan yang gagal menemukan dan mengenal Tuhan, akan menjalani
kehidupan laksana binatang ternak: hanya mengejar syahwat demi syahwat; tak
kenal kebahagiaan sejati dalam ibadah kepada Sang Pencipta.
Sungguh ironis, jika pelajaran sains di
sekolah-sekolah dan kampus dijauhkan dari Tuhan. Itulah sains ateis, sains
sekuler, yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Para ilmuan yang dihasilkannya
tidak mengakui wahyu Allah sebagai sumber ilmu. Mereka hanya mengenal sumber
ilmu dari panca indera (ilmu empiris) dan akal (rasional). Akibatnya, mereka
tidak semakin dekat (taqarrub) kepada Allah.
Sains sekuler atau Sains ateis seperti
itu sangat tidak kondusif untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang bertujuan
membentuk manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, sebagaimana
ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003. Juga, UU No 12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi mengemanahkan: Pendidikan Tinggi bertujuan, antara lain:
berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadimanusia yang beriman dan bertakwa
kepada TuhanYang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif,
mandiri, terampil, kompeten, danberbudaya untuk kepentingan bangsa.
Sains Islam sangat tepat untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional semacam itu. Ilmuwan yang beriman, bertaqwa, dan
berakhlak mulia, hanya mungkin terwujud
jika ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu yang benar; ilmu yang membawa
manusia kepada ketundukan kepada Allah; bukan ilmu yang membawa manusia kepada
kesombongan, seperti sifat Iblis.
Jadi, Sains Islam bertujuan membentuk
ilmuwan kelas mukmin dan muttaqin; bukan ilmuwan kelas kambing. Wallahu a’lam
bish-shawab. (***) (artikel ini dimuat di majalah Hidayatullah, edisi Desember
2013).
Sumber: Adianhusaini.com
No comments:
Post a Comment