Teks Pidato M. Natsir di muka sidang
pleno Badan Konstituante, 20 Juli 1957 di Bandung.
Sdr. Ketua!
“Sejarah manusia umumnya pada tinjauan
terakhirnya, memberikan kepada kita pada final analisisnya hanya dua
alternatif untuk meletakkan dasar negara
dalam sikap asasnya (principle attitude-nya), yaitu: (1) faham sekulerisme
(la-dieniyah) tanpa agama, atau (2) faham agama (dieny).
Sdr. Ketua!
Apa itu sekulerisme, tanpa agama,
la-dieniyah?
Sekulerisme adalah suatu cara hidup yang
mengandung paham tujuan dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala
sesuatu dalam kehidupan kaum sekuleris tidak ditujukan kepada apa yang melebihi
batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan, dsb. Walaupun ada kalanya
mereka mengakui akan adanya Tuhan, tapi dalam penghidupan perseorangan
sehari-hari umpamanya, seorang sekuleris tidak menganggap perlu adanya hubungan
jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari,
maupun hubungan jiwa dalam arti doa dan ibadah. Seorang sekuleris tidak
mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia
menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh
masyarakat semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai itu ditimbulkan oleh
sejarah atau pun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata, dan dipusatkan
kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan saat ini belaka...
Di lapangan ilmu pengetahuan, Sdr. Ketua,
sekulerisme menjadikan ilmu-ilmu terpisah daripada nilai-nilai hidup dan
peradaban. Timbullah pandangan bahwa ilmu ekonomi harus dipisahkan dari etika.
Ilmu sejarah harus dipisahkan dari etika. Ilmu sosial harus dipisahkan dari
norma-norma moral, kultur dan kepercayaan. Demikian juga ilmu jiwa, filsafat,
hukum, dsb. Sekedar untuk kepentingan obyektiviteit. Sikap memisahkan etika
dari ilmu pengetahuan ada gunanya, tetapi ada batas-batas dimana kita tidak
dapat memisahkan ilmu pengetahuan dari etika.
Kemajuan ilmu teknik dapat membuat bom
atom. Apakah ahli-ahli ilmu pengetahuan yang turut menyumbangkan tenaga atas
pembikinan bom tersebut harus ikut bertanggungjawab atas pemakaiannya atau
tidak? Bagi yang memisahkan etika dari ilmu pengetahuan mudah saja untuk
melepaskan tanggungjawab atas pemakaian
bom itu. Di sini kita lihat betapa jauhnya sekulerisme. Ilmu pengetahuan
sudah dijadikan tujuan tersendiri, science for the sake of science.
Di dalam penghidupan perseorangan dan
masyarakat, sekulerisme la-dieniyah tidak memberi petunjuk-petunjuk yang tegas.
Ukuran-ukuran yang dipakai oleh sekulerisme banyak macamnya. Ada yang
berpendapat bahwa hidup bersama laki-laki dan wanita tanpa kawin tidak
melanggar kesusilaan. Bagi satu negara menentukan sikap yang tegas terhadap hal
ini adalah penting. Sekulerisme dalam hal ini tidak dapat memberi pandangan
yang tegas, sedangkan agama dapat memberi keputusan yang terang.
Pengakuan atas hak milik perseorangan,
batas-batas yang harus ditentukan antara hak-hak buruh dan majikan, apa yang
kita maksud dengan perkataan “adil dan makmur”, ini semua ditentukan oleh
kepercayaan kita. Sekulerisme tidak mau menerima sumber ke-Tuhanan untuk
menentukan soal-soal ini. Kalau demikian terpaksalah kita melihat sumber
paham-paham dan nilai-nilai itu semata dari pertumbuhan masyarakat yang sudah
berabad-abad berjalan sebagaimana yang didorongkan oleh sekulerisme. Ini tidak
akan memberi pegangan yang teguh. Ada beribu-ribu masyarakat yang melahirkan
bermacam-macam nilai. Ambillah, misalnya soal bunuh diri. Ada masyarakat yang
mengijinkan dan ada yang melarang. Yang mana yang harus dipakai? Bagi suatu
negara mengambil sikap yang menentukan adalah penting, karena hukum-hukum mengenai
sikap yang menentukan adalah penting, karena hukum-hukum mengenai persoalan itu
akan dipengaruhi oleh sikap tersebut. Lagi, disini sekulerisme tidap dapat
memberikan pandangan yang positif.
Jika timbul pertanyaan, apa arti
penghidupan ini, sekulerisme tidak dapat menjawab dan tidak merasa perlu
menjawabnya. Orang yang kehilangan arti tentang kehidupan, akan mengalami
kerontokan rohani. Tidaklah heran, bahwa di dalam penghidupan perseorangan,
sekulerisme menyuburkan penyakit syaraf
dan rohani. Manusia membutuhkan suatu pegangan hidup yang asasnya tidak
berubah. Jika ini hilang, maka mudahlah baginya mengalami taufan rohani.
Demikian akibat pemahaman sekulerisme dalam hidup orang perseorangan. Pengaruh
agama terhadap kesehatan rohani ini telah diakui oleh ilmu jiwa jaman
sekarang....
Ada satu pengaruh sekulerisme yang
akibatnya paling berbahaya dibandingkan dengan yang saya telah sabut tadi.
Sekuleris, sebagaimana kita telah terangkan, menurunkan sumber-sumber nilai
hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata. Ajaran tidak
boleh membunuh, kasih sayang sesama manusia, semuanya itu menurut sekulerisme,
sumbernya bukan wahyu Ilahi, akan tetapi apa yang dinamakan: Penghidupan masyarakat
semata-mata. Umpamanya dahulu kala nenek moyang kita, pada suatu ketika, insaf
bahwa jika mereka hidup damai dan tolong menolong tentu akan menguntungkan
semua pihak. Maka dari situlah katanya timbul larangan terhadap membunuh dan
bermusuhan.
Kita akan lihat betapa berbahayanya
akibat pandangan yang demikian. Pertama, dengan menurunkan nulai-nilai adab dan
kepercayaan ke taraf perbuatan manusia dalam pergolakan masyarakat, maka
pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merosot. Dia merasa dirinya
lebih tinggi daripada nilai-nilai itu! Ia menganggap nilai-nilai itu bukan
sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi, tapi sebagai alat semata-mata karena
semua itu adalah ciptaan manusia sendiri...
Sumber: Adianhusaini.com
No comments:
Post a Comment