Ada yang menarik dari sebuah kajian
tentang lagu dolanan Jawa yang sudah lama dikenal oleh masyarakat luas secara
turun temurun. Lagu ini judulya Gundul-Gundul Pacul. Syairnya sangat sederhana
dan banyak anak-anak Jawa yang hafal semuanya. Namun siapa sangka jika lagu sederhana
ini ternyata memiliki makna filosofis kehidupan yang sangat dalam?
Mari kita simak filosofi Lagu
Gundul-Gundul Pacul, yang banyak tersebar di media sosial.
“Gundul-gundul Pacul Cul
Gembelengan
Nyunggi-nyunggi wakul kul
Gembelengan
Wakul nggelimpang segane
dadi sak latar 2x”
Gundul adalah kepala, dan orang jawa
seringkali menggunakan istilah ini untuk kepala yang tidak memiliki rambut
alias plontos. Namun kita akan melihat ‘kepala’ itu sendiri yang dianggap
selama ini oleh para kawula sebagai lambang kehormatan dan kemuliaan seseorang.
Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka gundul artinya kehormatan
yang tanpa mahkota.
Sedangkan pacul: adalah cangkul yaitu
alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul adalah lambang
kawula rendah yang kebanyakan adalah petani.
Gundul pacul artinya: bahwa seorang
pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa
pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Ada juga menurut Orang Jawa yang memaknai
pacul sebagai papat kang ucul (empat yang lepas).
Artinya bahwa: kemuliaan seseorang akan
sangat tergantung kepada empat hal, yaitu: bagaimana menggunakan mata, hidung,
telinga dan mulutnya.
Mata digunakan untuk melihat kesulitan
rakyat.
Telinga digunakan untuk mendengar
nasehat.
Hidung digunakan untuk mencium wewangian
kebaikan.
Mulut digunakan untuk berkata-kata yang
adil.
Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah
kehormatannya. Karena itu ‘Gundul-gundul Pacul’ bisa dimaknai dengan dua hal:
Seorang pemimpin harus amanah, jangan
hanya memikirkan kehormatannya. Gambaran seorang pemimpin yang tidak amanah, yang
sudah kehilangan empat indra dan tidak sanggup lagi untuk menggunakan empat
indra tersebut sebaik-baiknya.
Adapun Gembelengan artinya: besar kepala,
sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
Jadi, “Gundul-gundul pacul cul
gembelengan’ artinya seorang pemimpin yang sejatinya harus menunaikan amanah
rakyat ternyata menjadi sombong, selengekan, clelak-clelek, dan menjadikan
kehormatannya sebagai sebuah permainan.
Sedangkan ‘Nyunggi-nyunggi wakul kul”
artinya seorang pemimpin harus selalu nyunggi wakul (memikul bakul/tempat nasi,
yang berarti mengupayakan kesejahteraan rakyat dan menjunjung amanah rakyat)
Namun dalam realitasnya sering ditemui
pemimpin yang ‘nyunggi-nyunggi wakul kul gembelengan’ atau pemimpin yang hanya
mementingkan perut dan udelnya sendiri akhirnya wakul ngglimpang (amanah
jatuh tidak dapat dipertahankan). Segane dadi sak latar (berantakan
sia-sia, tak bisa bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat)
Inti sarinya, mari kita memilih pemimpin
yang amanah dan bertanggungjawab. Bukan pemimpin yang mementingkan
kepentingannya sendiri. Sedang bagi para pemimpin sudah menjadi kewajiban
kalian untuk menggunakan empat indra dengan sebaik mungkin agar tidak lepas
hingga kalian mengabaikan amanah dan sia-sia.
Sumber: eramuslim.com
Dengan sedikit editan
No comments:
Post a Comment